Mengupas Teori Feminisme


Ranah Teori Feminisme

    Teori feminisme membahas tentang  hak kesetaraan hak antara  perempuan dan laki-laki,membahas tentang  hak persamaan perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan.Feminisme adalah politikal dan aktivis. Pusat politisnya adalah isu-isu terbaru seperti hak reproduksi, kekerasan rumah tangga, cuti hamil, kesetaraan gaji, pelecehan seksual, diskriminasi, dan kekerasan seksual. Feminisme juga membahas isu-isu yang sudah lama berkembang seperti patriarki, stereotiping, dan penindasan. Feminisme mengkritisi pembangunan berkaitan dengan ketimpangan gender, pekerjaan wanita yang dianggap tidak proporsional, dan juga keabsenan wanita dalam pembangunan politik atau dalam membuat keputusan kelompok. Secara umum, semua itu berkontribusi dalam pelemahan status wanita.

       Karakteristik biologis dari laki-laki dan perempuan merupakan dasar dari perbedaan gender. Dari jenis pekerjaan, dua pandangan teoritis utama telah muncul untuk menjelaskan bagaimana individu menjadi gender. Pengertian dari kekerasan terhadap gender itu diartikan berbeda dari masing-masing pasal yang dibuat oleh PBB sebagai badan yang menjadi pedoman bagi seluruh Negara berdaulat  di dunia, salah satunya ialah CEDAW yang mengatakan yang dikatakan sebagai kekerasan terhadap perempuan itu ialah tindakan yang menyebabkan kerugian fisik, mental, seksual, penderitaan, ancaman, paksaan dan juga perampasaan hak-hak berdasarkan gender.

      Lain halnya yang dikemukakan oleh Human Right Watch: kekerasan terhadap gender itu bukan hanya ditujukan kepada perempuan melainkan kepada laki-laki juga. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Lingkungan agama Kristen pun terdapat praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ dalam Efesus 5:22 dengan menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu. Mengapa isu persamaan gender dengan adanya emansipasi wanita itu bisa menjadi sebuah kajian dalam hubungan internasional. 

       Dewasa ini di saat seluruh negara mengalami arus modernisasi ternyata masih ada anggapan atau budaya beberapa masyarakat yang masih meletakkan wanita itu terbelakang posisinya dalam masyarakat yang berdampak undang-undang atau kebijakan-kebijakan yang dibuat secara global itu tidak menjangkau masalah-masalah yang dihadapi perempuan.

      Perempuan dianggap tidak perlu untuk ikut dalam kegiatan politik, karena dari segi biologis dianggap lemah, perempuan dianggap tidak lumrah untuk menjadi seorang kepala negara atau kepala-kepala lainnya. Yang dimaksud dengan kesetaraan gender itu bukan berarti menuntut persamaan atas anatomi biologis, gender menjelaskan kepentingan atau pengertian social yang ditujukkan terhadap perbedaan-perbedaan itu. Hal inilah yang mendasari mengapa feminism ini bisa dijadikan kajian dalam hubungan internasional yaitu negara, dalam hal yang berkaitan dengan negara contohnya yaitu buruknya rancangan dan penegakan hukum untuk kekerasan terhadap perempuan, agen penegak hokum yang melanggar hukum, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk pencegahan dan pengobatan perempuan sebagai korban dari kekerasan, sanksi dan penguatan gender yang tidak setara.

      Selain itu, ketidakpedulian negara dan penelantaran dalam memberikan dan menciptakan peluang bagi perempuan dalam hak nya untuk bekerja, berpartisipasi, pendidikan, dan akses layanan sosial.

     Menurut pendekatan ini, untuk menghilangkan ketidaksetaraan tersebut caranya adalah dengan meruntuhkan sistem kapitalis yang berlaku. Feminisme marxisme / sosialisme kemudian memfokuskan pada cara-cara bagaimana kapitalisme dan patiarki menempatkan perempuan dalam posisi tidak istimewa (Jackson & Sorensen 1999, 337). Melihat ketertindasan perempuan dari beban reproduksi yang ditanggung perempuan, sehingga tidak mempunyai posisi tawar dengan laki-laki. b. Feminisme gynosentris. Melihat ketertindasan perempuan dari perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perempuan lebih inferior dibanding laki-laki.

Contoh kasus : Feminism radikal adalah aliran dalam feminis yang mengedepankan hak-hak individu untuk memilih. Memilih apa yang kaum perempuan yakini untuk dilakukan. Dalam feminisme atau perspektif feminis dikatakan bahwa perempuan adalah the second sex, ia adalah seks yang kedua (atau tidak utama) dari laki-laki dalam masyarakat yang patriarkis. Dalam “seks kedua" ini masih terlalu banyak perdebatan yang belum terjawab. Lesbian yang dipandang sebagai the third sex, ia adalah seks ketiga karena orientasi seksualnya yang berbeda, maka ia menjadi teralienasi atau diasingkan bahkan cenderung teraniaya lebih parah daripada perempuan yang heteroseks atau orientasi seksual lawan jenis yang dianggap normal. Lesbian diyakini merupakan etika resistensi dan self creation (pembentukan diri sendiri).

       Etika lesbian tidak berangkat dari suatu set peraturan mana yang benar dan mana yang salah atau berangkat dari suatu kewajiban atau tindakan utilitarian atau deontologist. Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian dapat eksis berkat pergerakan pembebasan perempuan, mempertanyakan konstruksi perempuan yang telah didefinisikan oleh masyarakat patriarkis. Apa yang hendak diperjuangkan adalah nilai-nilai pembebasan dimana tidak terjadi duplikasi dominasi yang dilakukan oleh masyarakat patriarchal.Pada hakikatnya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk didapatkan,tetapi karena laki-laki mempunyai rasa memiliki lebih tinggi maka laki-laki memandang wanita hanya sebelah mata,padahal wanita juga mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki seperti hak memperoleh pendidikan yang tinggi, mendapat pekerjaan yang bagus, mendapat gaji yang besar.

     Gerakan feminisme sudah berada di tengah-tengah kita, peran kaum perempuan yang cenderung dimarginalkan dalam masyarakat "patriachy" sekarang sudah mulai menunjukkan ototnya. Semua perlu terbuka akan kritik kaum perempuan yang dikenal sebagai penganut "feminisme" tetapi feminisme harus pula mendengarkan kritikan dari kaum perempuan sendiri maupun kaum laki-laki agar "persamaan" (equality) tidak kemudian menjurus pada "kebebasan yang kebablasan" (liberation) dan tidak bertanggung jawab. Dalam menghadapi permasalahan gender serta berbagai efek negatif, seperti ketimpangan, ketidakadilan, seksisme dan lain-lain; baikperempuan maupun laki-laki harus berubah agar berkembang menjadi lebih fleksibel. Dengan merubah konseptualisasi tentang maskulinitas,diharapkan laki-lakimengembangkan peran yang jauh lebih fleksibel mendefinisikan secara lebih luas tentang kepribadian yang jauh lebih kaya emosi serta lebih peduli dalam berhubungan dengan perumpuan.

Rasionalisme dan Empirisme dalam Gerakan Feminisme

       Feminisme tidak terlepas dari kelemahan  sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan empirisme.

      Gender mengacu pada perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan 'maskulinitas' dan 'feminitas' (Peterson & Runyam 1993:5).  Maskulinitas seperti rasionalitas, ambisi, dan kekuatan dinilai dengan status yang lebih tinggi daripada feminitas seperti emosionalitas, kapasitas, dan kelemahan.  Hal ini berujung pada terciptanya sistem hirarki gender yang lebih mengistimewakan kekuasaan laki-laki dibanding kekuasaan perempuan.

       Feminisme adalah teori yang berangkat dari gender.  Bahwa gender telah menimbulkan pemikiran yang lebih dalam mengenai wanita dan laki-laki dalam hubungan internasional.  Feminisme menggambarkan kecemasan mengenai penindasan perempuan dan berusaha menyajikan cara-cara emansipasi yang masuk akal. 

     Perempuan menjadi subjek utama yang kemudian dalam beberapa kasus pembelaan terhadap perempuan ini menjadi berlebihan dan melihat isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dari satu sisi saja. Feminisme selalu mengaitkan diri antara laki-laki dan perempuan, padahal tidak selalu itu saja yang berhubungan. Ada faktor-faktor lain yang sebenarnya juga menekan perempuan. Tradisi dan agama adalah faktor utamanya. Di Indonesia sendiri, terutama Jawa pandangan bahwa perempuan adalah kelas dua sudah mengakar.

    Hampir semua agama juga mendudukkan perempuan dalam kelas yang kemudian menjadi pengikut laki-laki. Selain itu juga tidak adanya dukungan penuh terhadap feminisme itu sendiri. Ketika kaum feminisme lantang menyuarakan persamaan kedudukan perempuan, di sisi lain terdapat jutaan perempuaan yang justru menerima keadaannya, bahwa takdir mereka memang menajdi kelas dua. Pihak yang diperjuangkan justru tidak memberikan dukungan penuh terhadap pihak yang memperjuangkan.

Sumber :
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Interptama Offset.
Next
Previous
Click here for Comments

1 komentar:

avatar

Kalau konsep kesetaraan 50:50 itu gimana ya min?